![]() |
Ilustrasi Karya: Cahya Maulana (@maulanacahya) |
Aku
masih ingat dengan malam itu. Kini baru aku tahu, bahwa malam itu seperti malam
yang mengambil semua harapanku tentang perempuan itu. Harapan yang bahkan tidak
kuketahui sebagai harapan. Karena setelah malam itu, aku terbiasa memiliki
hidup yang biasa saja. Berjalan sesuai apa yang ada di hadapanku, tanpa ingin
berharap yang lebih. Berharap yang lain.
Mungkin
ini layak untuk kau tertawakan. Ini memang memalukan. Karena bayangkanlah, betapa
konyolnya. Seorang anak laki-laki umur sepuluh tahun, menyukai teman
sekelasnya, dan ternyata tidak bisa melupakan perempuan itu sampai sekarang.
Usia segini. 22 tahun.
Tapi tahanlah
napasmu sebentar. Perhatikanlah bagaimana kejamnya hidup yang dikecap oleh
perempuan itu di usia yang sebaya denganku kala itu.
Malam
itu, adalah malam ujian akhir catur-wulan yang biasa kami hadapi untuk
mengumpulkan nilai-nilai baik, supaya bisa naik kelas, supaya bisa
berpendidikan tinggi. Aku, seperti biasanya tidak bisa tidur nyenyak kala esok
harinya akan menghadapi pelajaran bahasa Indonesia. Aku dan ibu masih terjaga
sampai pukul setengah sebelas malam. Ibu terus mendukungku untuk
mengulang-ulang lagi cerita atau dongeng yang belum aku pahami. Ya, begitulah
aku dalam soal cerita atau dongeng; selalu punya banyak pertanyaan.
Misalnya
tentang kisah Si Kancil anak nakal yang suka mencuri ketimun. Aku bertanya
banyak hal pada ibu. Pertanyaan-pertanyaan yang jika kuingat lagi di masa ini,
adalah cukup aneh. Seberapa pentingkah dongeng-dongeng itu dijelaskan? Misal; mengapa
tokoh yang cerdas di novel ini jahat, dan tokoh yang baik adalah tokoh yang
bodoh? Apakah kecerdasan akan membawa kita pada kejahatan? Atau pertanyaan
tentang ketimun, buaya, atau yang lainnya. Yang sejenis itulah.
Pukul
setengah sebelas malam, sebenarnya aku sudah mulai mengantuk. Ibu masih belum
mengantuk dan terlihat begitu bersemangat menemaniku.
“Kau
mau langsung tidur, atau ibu buatkan lagi susu coklat?” ibu membelai kepalaku
dengan lembut.
“Tidak,
bu. Biar aku tidur saja setelah selesai cerita terakhir ini..” jawabku singkat.
“Tumben?”
Ibu tersenyum kecil menatapku.
Aku
menjawabnya dengan menaikkan kedua bahuku, dan melanjutkan membaca dongeng
terakhir yang ingin aku pahami.
Rasa-rasanya
aku sudah hampir tertidur saat itu. Tapi teriakan ibu membangunkan mataku yang
mulai lemat untuk terjaga.
“Masya
Allah!” teriak ibu. Sejenak setelah aku membuka mataku dan menguceknya agar
tersadar, kulihat ibu bergegas dari ruang tengah ke ruang tamu. Ibu sedikit
berlari ke ruang tamu, dan saat itu juga aku berdiri dalam keadaan masih
bingung. Aku lihat jam dinding, tepat pukul sebelas malam. Aku berjalan hendak
ke ruang tamu, tapi ibu berlari melewati ruang tengah dan menuju kamar bapak.
Beberapa saat kemudian bapak terbangun dan keluar kamar sambil berlari
mengenakan sarung seadanya. Bapak keluar
rumah dengan segera, dan aku menyusulnya.
Sesampainya
di teras, aku baru bisa menyaksikan apa yang membuat ibu berlari panik
membangunkan bapak. Mataku terbelalak, dan rasa kantuk itu tak ada lagi
sepersenpun. Aku menyaksikan rumah perempuan itu terbakar. Rumah perempuan
itu, yang letaknya berhadapan tepat
dengan rumahku. Hanya dipisahkan oleh halaman rumah kami masing-masing dan
jalan setapak kecil.
Spontan
kakiku berlari ke arahnya, tapi ibu menahanku. Ibu memelukku sambil menangis.
“Jangan
ke sana, sayang. Kau tidak seharusnya melihat kejadian seperti itu!” kata ibu
sambil memelukku dengan tersedu.
Tapi
aku tak bisa melepaskan pandanganku pada rumah perempuan itu. Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana ia harus melarikan diri di tengah kobaran api yang
menyala-nyala itu. Aku tidak bisa membayangkan seberapa panasnya. Bagaimana
sakit asmanya. Dan aku tidak tahu, dan belum bisa mengerti apa penyebabnya. Aku
hanya menuruti apa kata ibu.
“Jangan
lama-lama kau lihat rumah itu nak.. jangan dilihat..”, katanya sambil
mendekapku.
Tapi
sesaat kemudian aku lihat banyak orang berlarian, mobil pemadam kebakaran
datang, bunyi sirine memenuhi telinga penduduk di kampung kami. Kepanikan tak terbendung.
Hanya
satu yang aku pikirkan. Dasar pikiran yang sama seperti saat aku menanyakan
apapun tentang dongeng-dongeng yang membuatku tak bisa tidur itu;
KENAPA?!
***
Kau
mungkin akan mengejekku dengan terus mengingat perempuan yang aku sukai sejak
Sekolah Dasar. Tapi itulah kenyataan yang harus aku tuliskan jika aku memang
ingin menuliskan kejujuran.
Awalnya,
aku yang sepuluh tahun itu tidak tahu apa itu cinta dan segala macam rasanya.
Aku bukanlah anak laki-laki yang tengil dan suka menggoda perempuan-perempuan
kecil ketika itu, seperti teman-temanku kebanyakan. Aku juiga tak suka
berkumpul dengan preman kampung yang baru saja beranjak remaja, tapi yang dibicarakannya
sudah urusan orang-orang dewasa. Dalam pergaulan kampung, aku yang sepuluh
tahun itu termasuk anak laki-laki pendiam dan penurut pada ibu dan bapak.
Perbedaan
itulah yang membuatku bersimpati pada perempuan itu.
Sore
itu, adalah hari piket kami berdua. Di sekolah dasar kami, hari piket berarti merapikan
kelas sebelum dan sesudah pelajaran selesai. Sore dengan hujan yang deras, dan
bersama lima teman sepiketku. Di antara 5 orang teman itulah, perempuan itu ada
dan rutin bekerjasama denganku untuk membersihkan kelas selepas pelajaran usai.
Setiap hari selasa.
Sore
itu, aku masih belum mengerti apa itu cinta dan segala macam rasanya. Sampai
pada suatu detik, ia meminta tolong padaku.
“Bara,
tolong aku dong!” panggilnya sambil menahan serok pembersih yang penuh dengan
sampah. Sampah-sampah itu ditahanya dengan mengapitkan sapu di atas serok.
Agaknya sampah itu akan segera jatuh.
“Sebentar,
tahan Ris. Aku ambilkan tong sampahnya.” Jawabku.
“Gimana
kalo kamu bawa aja sampahnya. Mungkin kamu lebih kuat..”
“Oke,
sini.” Sesaat aku sudah mengangkat serokitu sekaligus sapunya. Aku meraih
mereka dari tangan mungil perempuan itu.
“Makasih
banyak ya Bar.. Hihi..” Katanya malu-malu.
Aku
hanya menjawabnya dengan senyuman. Karena kau tau? Tiba-tiba aku tak bisa
bernapas! Ya. Saat aku meraih serok dan sapu dari tangan mungilnya itu, aku
merasakan degupan luar biasa. Sentuhan tanganku dan tangannya hanya sekelebat
saja. Tapi efekya betul-betul tidak bisa aku duga. Dan ucapan terimakasihnya
yang ceria itu, membuatku semakin tidak bisa apa-apa.
Aku
memang lebih kuat darinya untuk mengangkat seonggok sampah kelas di atas serok itu.
Tapi sesaat setelah sampah-sampah itu kubuang, kakiku seperti tidak kuat
berdiri.
Begitulah
kisah sederhana bagaimana aku merasakan cinta padanya untuk pertama kali. Awalnya
aku tidak mengerti apa itu cinta, dan segala macam rasanya. Bahkan sore itu,
aku tidak mengerti bahwa itulah rasa cinta. Itulah namanya jatuh cinta.
Saat
tugas bersih-bersih kami hampir selesai, hujan turun semakin deras.
Sesungguhnya, hal itu bisa diduga karena sejak siang langit di atas kampung
kami sudah terlihat gelap. Angin juga sudah bertiup lebih kencang, seperti
membawa pesan kesunyian dari hujan.
Empat
teman-teman sepenugasan piket sudah sepakat untuk pulang dengan keadaan
hujan-hujanan. Kebetulan kampung kami bukanlah kampung yang besar. Pulang
dengan kehujanan bersama-sama adalah cukup aman untuk memastikan kami sampai di
rumah kami masing-masing. Sebetulnya aku sudah menyepakati untuk pulang bersama
dengan kondisi kehujanan. Tapi perempuan itu tidak mau ikut.
“Aku
tunggu sampai hujan reda aja deh..” katanya.
“Kenapa?
Nanti kamu sendirian lho di sini. Hujannya deres banget. Gak pasti akan reda
kapan..” kata teman perempuanku yang lain.
“Gak
papa, kalian pulang duluan aja. Kalau ikut hujan-hujanan asmaku bisa kambuh..”
jawab perempuan itu singkat.
Kami
berenam saling berpandangan sesaat. Kami semua tahu, bahwa jika perempuan itu
tinggal sendiri di sini, kami tidak akan bisa memastikan bahwa ia pulang dengan
selamat. Tapi kami semua harus segera pulang, biar orang tua kami tidak
kebingungan.
“Biar
aku yang nganter Riska pulang. Kalian pulanglah dulu..” spontan aku
memutuskannya sepihak.
Perempuan
itu seperti terkejut, tapi sesaat kemudian dia tersenyum. Empat teman-temanku
yang lain menyetujuinya dan mereka pulang dengan bermandikan hujan. Mereka tertawa
riang pulang di antara hujan, tidak memedulikan buku yang basah atau kaus kaki
yang bau.
“Kita
punya alasan buat main hujan! Yeaaaaa!!” teriak teman laki-lakiku di tengah
lapangan.
Teman-teman
yang lainnya tertawa terbahak-bahak. Apa yang lebih menyenangkan daripada
bermain hujan kala itu? Ah, bermain hujan adalah permainan terindah semasa kita
kecil dulu, bukan?
Perempuan
itu ikut tertawa melihat teman-teman kami tertawa kegirangan.
“Hati-hati
yaaa!” Ia berteriak sambil melambaikan tangan pada teman-teman kami yang
langkahnya semakin jauh dari halaman sekolah.
Lalu
kami berdua terdiam, sampai perempuan itu yang mengawali pembicaraan.
“Makasih
banyak ya Bara.. Hihihi..” Ucapnya penuh dengan nada sumringah.
Lagi-lagi
aku hanya tersenyum. Karena lagi-lagi dadaku berdegup kencang.
“Memang
sakit asma itu sakit ya?” tanyaku dingin. Kurasa saat itu aku memanfaatkan
kebiasaan bicaraku yang dingin untuk menutupi perasaan tidak karuan dalam
dadaku.
Ia
mengangguk. “Rasanya gak enak banget. Seperti ada di ruangan sempit. Gak bisa
berpikir. Gak bisa minta tolong. Aku gak mau lagi merasakan yang seperti itu..”
“Tapi
apa bermain hujan akan menyesakkan napasmu?”
“Memang
enggak, Bar. Tapi setelah bermain hujan kita sering flu. Kalo udah flu pasti
kena asma..” tiba-tiba wajahnya murung menjawab pertanyaanku.
“Padahal
bermain hujan itu asyik sekali.” Aku berujar dengan datar.
Perempuan
itu mengangguk. Tapi ia tidak memilih melanjutkan ratapanku padanya tentang
asyiknya bermain hujan. Ia langsung melanjutkan pembicaraan kami dengan ceria.
“Tapi
aku suka banget kalo bisa liat pelangi Bara.. Cantiiik banget.. ” tiba-tiba matanya
berbinar.
Jika
mengingat kejadian itu, aku jadi sadar betapa indahnya perempuan itu untuk
dicintai. Bukannya ia balik melanjawab ratapanku dengan ratapan. Tapi justru ia
bicarakan tentang indahnya hujan. Betapa cerianya perempuan itu. Betapa murninya
rasa syukur yang ia miliki. Jauh berbeda dariku, yang selalu bertanya tentang
cerita-cerita ganjil dari dongeng-dongeng. Kritis, sering skeptis, dan tidak
bisa seceria perempuan itu.
Dan
akupun bisa menyimpulkan demikian, setelah pertemuanku kembali. Saat kami sudah
beranjak dewasa.
***
Sejak
malam kebakaran itu, aku tidak lagi bisa bertemu perempuan itu. Kabar buruk
tersiar ke seluruh kampung. Kata mereka, papa perempuan itu yang membakar rumah
mereka setelah mengaiaya istrinya sampai istrinnya tak sadarkan diri. Istrinya
tidak mati, hanya terkena luka bakar saja. Tapi istrinya mendekam di rumah
sakit jiwa setelah luka bakarnya dipulihkan. Papa perempuan itu dipenjara, dan
mendapat penghinaan besar dari orang-orang di kampung kami. Dan perempuan itu
dikabarkan dibawa pamannya ke kota, untuk disekolahkan.
Sebagai
anak laki-laki berusia sepuluh tahun kala itu, aku tidak sampai memikirkan
bagaimana rasa cintaku akan tersambut, atau kapan perempuan itu akan kembali ke
kampung kami dan bertemu denganku, atau bagaimana nasib harapanku padanya?
Bisakah kami menikah dan membangun keluarga bersama? Bahkan aku tak sampai bisa
memikirkan bahwa ibuku pasti melarang kami menikah, lantaran ayahnya telah
dikenal sebagai orang yang keji.
Kali
itu aku memutuskan untuk tidak bertanya soal apapun, dan memilih jalan aman
untuk diam. Aku memilih untuk tidak lagi memedulikan degupan keras yang aku
rasakan sore itu. Aku memilih untuk turut menganggap papanya sebagai orang yang
keji. Dan aku memilih untuk melupakan perempuan itu.
Tapi
nyatanya berbeda.
***
Aku
sendiri melanjutkan studiku dengan berkuliah di kota. Ada banyak kota di negeri
ini, dan ibuku memilih Kota Jogja. Masuk jurusan sastra Indonesia, karena
ternyata rasa penasaranku akan dongeng-dongeng itu berujung pada jurusan ini.
Aku tak bisa menceritakan banyak hal tentang perkuliahanku, karena memang tidak
ada yang bisa aku ceritakan. Semuanya biasa saja.
Tapi
catatan pentingnya, adalah aku belum pernah berpacaran. Sampai sekarang, saat
usiaku telah 22 tahun. 12 tahun setelah rasa cinta pertamaku dan kejadian buruk
yang menimpa perempuan itu.
Aku
suka menulis fiksi sejak SMA. Karena kegiatan menulis, aku menjadi laki-laki
remaja yang tidak bisa bergaul dengan lentur pada sembarang teman. Itu cukup
membuatku mendapat cap lelaki dingin. Tapi entah kenapa aku suka menyandangnya.
Anehnya,
dari hobiku itu aku bisa memproduksi banyak cerita-cerita fiksi. Saat SMA, aku
selalu diminta untuk aktif mengisi majalah dinding. Aku diikutkan lomba-lomba
penulisan cerpen dan puisi. Dan aku telah meraih sekian prestasi semasa
SMA. Aku tidak sengaja menggeluti dunia
menulis yang ternyata aku sukai itu. Hingga kini aku telah bisa menggantungkan
hidup pada hobi tersebut.
Dan
pencapaianku tidaklah buruk. Aku sudah menerbitkan dua novel dan satu kumpulan
cerpen, sampai saat ini. Mungkin karena itu pula dua hari yang lalu aku
mendapatkan email dari editor sebuah penerbit yang cukup besar yang bermaksud
untuk mengontrakku menuliskan novel ketigaku.
Aku
mengirmkan sms konfirmasi sebagaimana yang diperintahkan dalam email itu. Kami
janjian untuk bertemu dua hari setelahnya. Hari ini.
***
Pertemuan
itu terjadi sore tadi, sebelum aku menuliskan kisah ini untukmu. Ya, siapapun
kamu. Aku bahkan tak percaya sore tadi adalah sore yang akan membawaku dalam
lingkaran pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan. Setelah sekian lama aku tak
terlalu memikirkkan apapun tentang apa yang ada di depan.
Aku
pikir, pesangon dari tulisan-tulisankau sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidupku. Karier menulisku sudah cukup menjadi ‘istriku’ untuk melalui masa
depan yang masih gelap itu. Pikirku, segelap-gelapnya masa depan, toh aku sudah
punya karier menulis –dan aku tidak perlu khawatir. Aku menjalani hari-hari
dengan biasa saja. Membaca dan mepelajari sastra dengan biasa saja. Mengungkapkan
gagasan-gagasan dengan biasa saja, dan hidup biasa-biasa saja: tinggal dijalani
saja.
Misalnya
nati akan menikah, aku kira aku akan menikah dengan biasa saja. Punya anak dan
istri dengan kebahagiaan yang juga biasa saja.
Tapi
kenyataannya, aku baru saja melalui sore yang luar biasa.
***
Kami
janjian pukul 4 sore di Goebex Caffe. Aku sudah di sana setengah jam
sebelumnya, karena memang aku suka menyendiri di tempat itu. Sambil membaca
buku, atau menuliskan sesuatu untuk pembacaku. Tapi sore tadi aku memilih
membaca buku. Entah kenapa perasaanku sedikit gelisah kala itu.
Pukul
4 kurang lima menit, seorang perempuan berkacamata full-frame berwarna
coklat tua menghampiriku. Ia ramping dan penampilannya menarik sekali.
“Hai,
Bara..” tangan yang disodorkannya untuk bersalaman mengagetkanku yang
sesungguhnya tidak seberapa fokus dengan buku yang kubaca.
Aku
balas meraih tangannya yang hendak bersalamana itu. “Hai..” kataku.
“Aku
Rianti dari Penerbit Cinta..”
“Oh,
ya..” jawabku datar. Lalu, kau taulah.. pembicaraan selanjutnya adalah
presentasinya untuk melobiku menuliskan sebuah novel.
Saat
pukul 5 sore tiba, pembicaraan kami sudah mulai cair. Mbak Rianti adalah orang
yang supel dan mudah mencairkan suasana. Dari pesanannya –jus lemon, terlihat
bahwa ia adalah orang yang sangat ceria.
“Oh
ya Bar, aku kan sibuk, gak bisa begitu intensif mendampingi kamu ngerjain
project ini. Tadi pagi ada anak magang yang baru masuk, dan kayaknya dia
tertarik banget sama buku-buku kamu..” dia sejenak menghentikan pembicaraannya
karena ingin menyedut seteguk jus lemon di hadapannya.
Aku
hanya menunjukan ekspresi bertanya.
“Tadi
siang sih aku udah diskusi sama dia tentanhg project ini, dan menurutku
sih dia gak terlalu buruk untuk pemula. Sepertinya dia ngefans banget
sama kamu. Jadi aku pikir, dia akan jadi penghubung antara aku sama kamu.
Gagasanya bagus. Dia pembaca yang baik..” lanjutnya.
“Oke,
mbak. Gak masalah.. kalo ada apa-apa, aku email mbak Rianti aja nanti.” jawabku
“Sebenernya
aku ngundang dia ke sini. Tapi karena masih harus menajalani pengarahan sampe
jam 5 mungkin baru ke sini sekitar setengah enam. Yang jelas aku nyuruh dia
nyusul. Kamu gak keberatan kan?”
“Gak
masalah mbak. Sama sekali gak masalah..”
Setelahnya,
mbak Rianti tampak sibuk menelpon dan membalas pesan-pesan di bbm-nya. Dan
ternyata 15 menit setelah pukul 5 sore, perempuan yang dimaksudnya sudah
datang.
“Nah,
itu dia..” mbak Rianti menunjuk seoprang perempuan yang baru saja memasuki
taman parkir.
Melihatnya
dari kejauhan membuat perasaanku menjadi sangat aneh. Entah kenapa kegelisahan
yang sudah ada sejak sebelum mbak Rianti datang, semakin berkecamuk dalam
batinku. Aku seperti pernah mengalami kejadian itu: deja vu. Ada seorang editor
berkacama full-frame warna coklat di hadapanku, suasana caffe terbuka
yang santai, musik-musik jazz yang terdengar sayup-sayup, jus lemon, dan
pemandangan melihat perempuan yang sedang membenahi parkir motornya.
Begitu
selesai memarkir motornya, ia mengeluarkan beberapa buku dari tas ranselnya.
Dari tempatku duduk, aku bisa melihat ia mengeluarkan bu-buku yang sudah aku
tulis: 2 novel dan 1 kumpulan cerpen. Ada juga dua novel Pramoedya yang sedang
aku ulas di blog.
Dia
berjalan mendekat ke meja tempat aku dan mbak Rianti duduk. Ada degupan kencang
yang sudah sangat lama tidak aku rasakan. Aku memang sudah sedikit lupa dengan
wajahnya, tapi aku yakin ia adalah perempuan itu. Dari langkahnya, dari
tatapannya padaku, dan buku-buku yang didekapnya, aku tahu itu dia. Dan
tiba-tiba aku tak bisa mendengar apa-apa. Semuanya seperti sebuah scene
lambat yang bergerak tanpa suara. Entahlah bagaimana wajah mbak Rianti dan apa
yang diucapkannya, aku sudah tidak bisa peduli lagi.
Sampai
di mejaku, ia menyodorkan tangannya.
“Apa
kabar, Bara?” ia mengucapkannya sambil mengajakku bersalaman. Senyumnya mampu
menunjukkan bahwa ia sama sekali tak keberatan menjalani hari-hari suram dalam
hidupnya. Atau lebih tepatnya, ia berparas seolah-olah ia tak pernah memalui
malam yang mengerikan itu. Yang bahkan paling mengerikan dalam hidupku.
“Baik..”
jawabku dingin.
“Lama
gak ketemu ya? Hihihi.. jangan kaget..” katanya sambil tertawa. Dengan
santainya ia duduk di hadapanku.
Aku
tercekat, dan tak bisa apa-apa lagi. Bahkan aku tidak tahu bagaimana harus aku
menuliskan cerita selanjutnya: apa yang kami bicarakan, bagaimana caraku
mengontrol diri untuk tetap biasa saja, untuk tetap dingin dan tetap bicara
seadanya.
Sungguh
aku tidak tahu lagi bagaimana aku harus menceritakannya. Kini temaram lampu
kamar dan sebuah laptop di hadapanku ini menjadi teman yang tak
tergantikan untuk menikmati kegelisahan. Aku tidak bisa lagi bersikap biasa,
dan tidak akan lagi menjalani hidup yang biasa. Kuharap kau mau membantuku
untuk berdoa.
Semoga
Tuhan selalu melindungi perempuan itu. Amin.
Malang, 28 Desember 2013
Nadia Adibie
Keren kali ceritanya :))
ReplyDeletewah, terimakasih banyaak. masih belajar ini :))
Deletekereen :)
ReplyDeleteMakasih banyak! Makasih juga karena saya jadi pengen nulis cerpen lagi karena baca komentar ini.
DeleteMantap ceritanya...:-)
DeleteMantap ceritanya...:-)
Deletealur cerita nya jadi BAPER, keren ka..
ReplyDeletePenasaran mba sama lanjutannya nanti kayak gimana yah
ReplyDeleteKeren banget ceritanya....
ReplyDeleteBaper aku....
Pengentau kelannutan caritax....