![]() |
Ilustrasi gambar diambil dari sini |
“Aku tak mau turun dulu. Aku akan menunggu sampai
mereka baik-baik saja,” ucap Hujan merendahkan suaranya.
Waktu tersenyum. Hujan masih murung. Seperti anak kecil yang sedang
merajuk.
Konon, Hujan dan Waktu adalah layaknya dua manusia yang saling mencintai. Entah siapa yang perempuan dan siapa yang lelaki di antara keduanya, karena memang tidak ada yang tahu. Tapi mereka selalu memiliki sifatnya masing-masing. Sifat yang jauh berbeda, tapi cukup kuat untuk saling mengisi dan memahami.
Hujan. Ia begitu lembut. Wajahnya sendu dan matanya tercipta teduh. Ia tumbuh dalam hati yang penuh cinta. Ia suka memaafkan, tersenyum dan bernyanyi. Ia selalu membawa sajuta kebahagiaan saat turun dari langit dan membasahi apapun yang berada di bumi. Ia menyukai tanah yang tidak lagi kering, daun serta bunga-bunga yang tidak lagi layu, atap-atap rumah atau perkantoran yang tidak lagi terasa panas, hingga halaman sekolah yang membuat banyak anak-anak kecil bermain air kegirangan atau hanya bisa berdiam di depan kelas untuk menunggunya reda. Hujan selalu berbahagia dengan apapun yang ia basahi. Baginya, banyak benda di bumi yang terlampau kering untuk berbahagia, terlalu lama merasa gelisah, bahkan terlalu berat untuk sekedar tersenyum kecil.
Sedangkan Waktu. Ia begitu tertib dan tidak pernah
lalai memutar detiknya barang satu kalipun. Waktu tidak merasa berat melakukan
pekerjaannya, karena ia telah diciptakan untuk selalu tepat. Ia justru senang
melihat orang-orang sibuk bekerja mencari nafkah yang halal untuk keluarganya,
melihat anak-anak kecil main di halaman sekolah atau belajar di dalam kelasnya,
melihat ibu-ibu memasak untuk suami dan anak-anaknya, melihat siapapun yang
terus bergerak demi kebaikan dirinya. Ia bersyukur telah terlahir sebagai Waktu,
yang menentukan setiap jadwal, menjadi titik ukur dari awal dan akhir, menjadi
saksi bagi setiap benda yang bergerak di muka bumi.
Tapi Waktu tidak pernah merasakan rindu, sampai ia
bertemu dengan hujan. Padahal, Waktu
selalu tahu, bagaimana Hujan jatuh dari awan, terbawa angin yang sekian
hembusan, lalu jatuh di daratan bumi. Ia juga tahu bagaimana setiap tetes Hujan
hadir satu persatu ke atas rerumputan, lalu rerumputan tersenyum bahagia atas
kehadirannya, sehingga bermekaranlah setiap bunga dan sapi-sapi kehausan mulai
meminum air genangannya. Waktu juga mengerti kapan Hujan akan datang, karena
diapun tahu kapan lautan menguap dan kapan uapan itu membuntuk awan yang
lama-lama menjadi gelap. Tapi ia tetap merasakan rindu.
Waktu akhirnya tahu, bahwa ia telah jatuh cinta
kepada hujan. Hujanpun demikian. Ia menyukai Waktu karena kegagahan dan
ketegasannya. Hujan mengagumi konsistensi Waktu yang penuh. Hujan tahu, waktu
adalah hal berharga di muka bumi, karena ia pernah mendengar seorang bos yang
memarahi anak buahnya di bawah dua buah payung yang dijatuhinya.
“Kau tau penyebab kegagalan kita kali ini?! Kau
tau, ha?!!” kata bos itu membentak.
“....” wajah anak buahnya begitu tegang. Ia
tercekat merunduk, tak bisa berkata apa-apa.
“Kau tau, kita hampir saja berhasil mendapatkan
tender itu! Seharusnya sekarang kontrak itu sudah ditandatangani! Tapi karena
keteledoranmu, kemalasanmu, kecintaanamu pada perempuan itu, kita bangkrut!
Modal kita habis! Kesempatan sudah tidak ada lagi! menuntutmupun aku tak mungkin
karena tak bisa sewa pengacaraa!!” bos itu semakin menaikkan suaranya.
“Maaf, pak..” kata si anak buah nekat. Ia minta
maaf sambil menutup kedua matanya rapat-rapat. Tangannya gemetar.
“Maaf gundulmu?!!!” sang bos rupanya tidak bisa
lagi menahan emosi.
Plak!
Si bos memukul si anak buah sampai terjatuh. Sang
bos tak memikirkan lagi nasib anak buahnya. Ia pergi begitu saja. Hujan masih
terus membasahi luka kecil di bibir kiri si anak buah itu. Hujan sedih
melihatya. Karena ia telah turun membasahi bumi sejak si anak buah masih di
rumahnya, sebelum berangkat ke tempat rapatnya dengan si bos yang bangkrut itu.
Sebelum si anak buah berangkat, anak tunggalnya
yang masih bayi tiba-tiba demam tinggi. Istrinya mengaduh dan panik, sedang ia
tak punya uang untuk segera berangkat ke dokter. Hujanpun menyaksikan,
bagaiamana istri dari si anak buah meraung-raung ingin bunuh diri karena
terlampau lama hidup susah. Si anak buah susah payah menenangkan istrinya yang
kalut dan anaknya yang juga tidak berhenti menangis karena demam.
Karena kekalutan itulah si anak buah terlambat
datang ke tempat rapat, dan klien bosnya merasa kecewa sehingga membatalkan
kontrak yang seharusnya menjadi satu-satunya pekerjaan untuk mendapatkan uang
demi kesembuhan anaknya. Hujan sungguh kasihan dengan si anak buah ini. Hujan
berpikir, si anak buah ini sungguh lelaki baik yang bertanggungjawab. Si bos
dan istrinya hanya tidak memahami apa yang sedang diperjuangkannya saja.
Demikianlah, Hujan jadi tahu betapa perkasanya Waktu.
Betapa Waktu benar-benar benda berharga yang tidak bisa dibeli dengan uang
sekalipun. Sesekali Hujan pernah mendengar kabar, bahwa manusia tengah menciptakan
mesin waktu. Tapi Hujan selalu ragu akan hal itu.
***
Hujan yang penyayang itu siang ini jadi murung. Ia
masih di dalam sebuah awan dan melamun panjang; belum mau turun ke bumi. Semestinya
ia turun pada waktu yang telah ditentukan oleh angin dan awan. Tapi tampaknya
ia sedang tak mau turun.
“Masih mikirin si anak buah itu, ya?” tanya Waktu
tiba-tiba.
Hujan sediki terperanjat karena terlalu asyik
dengan lamunannya. Wajah Hujan murung. Ia hanya mengangguk kecil menanggapi
pertanyaan Waktu.
“Kamu gak perlu sedih cuman karena laki-laki itu.
Rasa kasihanmu tak akan membantunya. Ia harus menolong dirinya sendiri.”
Hujan tidak menjawab pertanyaan Waktu. Wajah
murungnya masih bertahan, tak bisa disembunyikan.
“Sudahlah, tidak perlu terlalu memikirkan manusia.
Mereka sering semena-mena terhadap kita..” gerutu Waktu tiba-tiba.
Hujan menoleh ke arah Waktu.
“Si anak buah itu memang sering mengusikku. Tapi
bukan itu yang membuatku melamun!” Hujan menundukkan wajahnya.
Waktu hanya diam. Ia kini tahu Hujan bukan
memikirkan si anak buah yang malang itu.
“Kita hanya melaksanakan tugas kita, Hujan. Hanya
menjalani takdir yang sudah semestinya..” Waktu mencoba menenangkan Hujan.
“Lalu bagaimana dengan kebahagiaan yang hilang di
antara dua anak muda yang baru saja bertemu? Kau mau bilang kita tak jahat pada
mereka?!” Hujan tiba menjadi melankolis tiba-tiba.
“Tugasku tidak pernah berubah, Hujan. Aku selalu
berjalan dengan ritme yang sama setiap harinya. Tidak pernah berubah. Bukan aku
yang jahat. Kalau menurutmu aku jahat, salahkan saja Tuhan yang membuatku tak
bisa berhenti atau mundur.”
Hujan merunduk.
“Harusnya kau turun hari ini, kan? Di dua kota
berbeda, di kota masing-maing dari mereka berada?” Waktu kembali tenang.
Hujan mengangguk.
“Mengapa kau menahan dirimu untuk turun?”
“Keberadaanku akan membuat mereka menangis, dan
aku tidak suka melihat orang menangis saat aku turun ke bumi. Ke dua kota itu.”
Ucap Hujan datar.
Waktu tersenyum.
Mereka berdua kini diam saja. Ingatan mereka
melayang pada dua anak muda yang telah terpisah bertahun-tahun lamanya, karena
tak direstui orang tua keduanya untuk menikah dan bersatu selamanya. Dua anak
muda ini tinggal di dua kota berbeda. Hujan dan Waktu sudah lama memperhatikan
keduanya. Mereka adalah dua anak manusia yang saling mencintai dan berbicara
lewat bahasa hati mereka.
Pernah suatu waktu si anak perempuan dijodohkan. Si
anak perempuanpun sudah pasrah akan keputusan orang tuanya, meski hatinya
berkata lain. Si anak perempuan hanya berdoa setiap harinya. Hingga satu minggu
sebelum hari pernikahan, calon suami yang dipersiapkan kedua orang tuanya
mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Semua orang iba pada si anak
perempuan saat kejadian itu melanda. Tapi di hatinya, ia hanya tersenyum. Ia
percaya pada suara hatinya, ia percaya laki-laki di kota lain yang telah
terpisah dengannya bertahun-tahun itulah cinta sejatinya.
Satu minggu yang lalu, kedua anak muda itu
dipertemukan secara tidak sengaja. Hujan dan Waktu sama-sama berada di sana,
saat mereka bertemu. Di kota yang sama-sama tidak mereka duga. Di kota yang
berbeda dari dua kota yang memisahkan dua anak muda itu. Mereka sangat bahagia,
hingga tak banyak bicara. Mereka hanya saling menyapa, berdiam di sebuah taman,
tanpa kata-kata. Tapi kedua hatinya tau mereka masih saling mencintai. Dan
kedua hatinya juga tahu, mereka ingin bersatu. Bahkan rasanya mereka ingin
menikah saat itu juga.
Tapi, waktu tidak pernah bisa berhenti. Mau tidak
mau, saat waktunya tiba, mereka harus kembali ke kota masing-masing. Dan
semenjak pertemuan singkat itu, hidup mereka berdua berubah.
Rasa rindu menyeruak di setiap sudut ruangan yang
mereka tempati. Bayang-bayang pertemuan yang singkat itu tidak bisa mereka
hindari. Rasa sesak di dada mereka membuat mereka tak bisa melakukan kegiatan
yang biasanya mereka lalui setiap harinya. Matahari yang biasanya cerah menjadi
panas menyiksa. Hujan yang biasanya membawa mereka pada doa-doa harapan tentang
masa depan menjadi awan suram yang menyedihkan dan memilukan hati.
Hujan dan Waktu sama-sama tak tega melihatnya.
“Aku tak mau turun dulu. Aku akan menunggu sampai
mereka baik-baik saja,” ucap Hujan merendahkan suaranya.
Waktu tersenyum lagi. “Kita juga sama seperti
mereka, Hujan. Sama-sama ciptaan. Sama-sama menjalani takdir yang sudah
ditentukan bagi kita. Sampai kapan kau akan menahan diri di awan-awan itu? Butiran
air yang lain akan mengantri dan berdesakan di awan hitam. Jika sudah waktunya
kau turun, turunlah.”
Hujan masih murung. Seperti anak kecil yang sedang
merajuk.
“Suatu saat kita juga akan merasakan hal yang sama.
Kita juga akan saling merindukan saat salah satu di antara kita tiba-tiba
tiada. Dan aku memang harus terus berjalan, meski langkahku sendiri terasa
berat. Tapi, ringan ataupun berat langkah itu, sesungguhnya aku –sang Waktu,
tidak pernah sekalipun berjalan dengan ritme lebih cepat atau lambat.” Waktu
membelai rambut Hujan dengan lembut.
Hujan masih merundukkan wajahnya. Ia sedih sekali.
“Turunlah. Dengan lembut.” Lanjut Waktu.
“Sentuhlah hati mereka berdua. Katakan pada hati mereka, bahwa kita menyaksikan
cinta yang ada di hati mereka berdua. Meski terpisah, suatu saat, ketika Tuhan
sudah mengizinkan, mereka akan hidup bahagia selamanya.”
Hujan kini menangis.
“Saksikanlah tangisan mereka jika memang mereka
menangis. Saksikanlah kemarahan mereka jika memang mereka marah. Tapi sekali
lagi, sampaikanlah pada hati mereka, bahwa mereka masih saling menunggu. Dan
yakinkan pada hati mereka, untuk tetap bersuara sekencang-kencangnya, agar
kedua anak manusia itu bisa mendengar hati mereka sendiri.”
Waktu kini memeluk hujan.
“Aku sudah banyak melihat kisah seperti ini. Kau
tidak perlu merasa tidak berguna jika mereka menangis saat kau turun nanti.
Percayalah padaku, mereka berdua, dan kita akan baik-baik saja.”
Hujan luluh dengan kata-kata Waktu. Seiring
pelukan Waktu, ia kini turun di dua kota berbeda tempat kedua anak muda itu
sedang berkemelut dengan kegelisahannya masing-masing. Ia mencoba bicara pada
hati kedua anak muda itu, dan tiba-tiba kedua anak muda itupun menangis.
Sementara waktu terus berjalan. Dengan ritme yang
sama. Tidak lebih cepat, tidak lebih lambat, tidak juga mundur. Waktu memang
bukan peramal yang baik. Tapi pengalamannya bisa mengatakan, bahwa kedua anak
muda itu memang benar saling mencintai dan akan hidup bahagia selama-lamanya.
“Aku percaya padamu, Waktu.” kata Hujan.
“Aku percaya padamu, Hujan.” kata Waktu.
“Aku percaya padamu..” kata si anak perempuan di sebuah kota, saat hujan
tengah turun.
“Aku mencintaimu..” kata si anak laki-laki, di kota lainnya, saat
hujan tengah turun.
Malang, 7 Februari 2014
Nadia Adibie
No comments:
Post a Comment
berikan komentarmu tentang tulisan saya, di sini.