
Alif belum lama memilih jalan sebagai pengusaha.
Usahanya jatuh-bangun-jatuh-jatuh-bagun. Katanya, jatuhnya lebih
banyak dari bangunnya. Hanya saja, semakin dalam jatuhnya, semakin
tinggi bangunnya. Seperti ketapel.
Dia
punya impian-impian besar hingga banyak orang yang menganggapnya
tidak mungkin, bahkan termasuk juga saya. Tapi, cerita yang Ia bagi
kepada saya hari itu membuat saya berubah pikiran dan mulai yakin
akan keyakinannya.
“Kemarin
aku ada acara perpisahan sama anak-anak kelas. Kelas yang aku ajar
itu termasuk yang paling nakal. Wuh, susah banget bikin mereka diem
kalo kita lagi ngajar”, Alif mulai cerita.
“Terus,
kamu bikin pesta apa waktu perpisahan sama mereka?”, aku bertanya.
“Enggak.
Aku lagi gak punya duit. Jadi ngobrol aja sama mereka. Aku ajak
mereka melingkar, terus aku ngomong..”
Saya
nyaris tidak bisa membayangkan bagaimana anak-anak SMK yang isinya
laki-laki semua dan ‘nakal’, bisa diam saat Ia bicara. Memang
saya akui, Alif punya kelebihan tersendiri dalam menghadapi anak
super-aktif. Selanjutnya Alif mengatakan pada saya bahwa Ia bilang
terimakasih telah berdesia diajar selama 2 bulan dan meminta maaf
atas kesalahan yang mungkin dibuatnya. Setelah itu..
“Adik-adik,
kalau ada di antara kalian yang nanti sudah lulus SMK dan mau
berwira-usaha, ini nomor saya”, saat itu juga Alif menuliskan nomor
teleponnya di papan tulis. “Hubungi saya. Akan saya bantu sebisa
saya. Kalian harus berkarya. Terserah apapun itu yang akan membuat
hidup kalian berubah. Dan memang harus segera berubah.”
Lebih
lanjut saya bertanya apakan semuanya mendengarkan apa yang Ia
katakan. Alif menjawab santai, “Sedikit yang mendengarkan dengan
sungguh-sungguh. Tapi ada beberapa yang mendengar dengan serius.”
Alif
masih melanjutkan, “Setelah pertemuan itu ada yang bilang begini;
mas, aku kerjo nggone mase ae yo. Mulih sekolah aku langsung merono
mas. Nganti mbengi. Yo mas yo? (Mas, aku kerja di tempatnya masnya
ya. Pulang sekolah aku langsung ke sana mas. Sampai malam. Ya mas
ya?)”
“Ada
juga yang tanya; mas kuliah penting ndak? Aku jawab, ga terlalu
penting tapi perlu dan butuh. Sebisa mungkin harus kuliah. Ya,
sebagian besar mereka ga pengen kuliah.”
Aku
masih termangu mendengar Alif cerita. Dan kepingan-kepingan
pembelajaran lainnya.
***
Dua
hari setelah Alif menceritakan peristia yang Ia lalui itu, saya
mendapat sms dari Alif. Ia mengatakan bahwa ada dua orang yang datang
ke kosnya. Mereka berdua ingin punya bisnis cuci motor. Dan Alif
menyuruh mereka untuk survey kecil-kecilan dan sekolah dulu yang
rajin. Nanti kalau mau kuliah baru serius pikirkan bisnis.
***
Dan
betapa terkejutnya saya. Dengan kejadian terakhir yang Alif ceritakan
pada saya. Mereka adalah anak-anak, yang sering saya lihat di jalanan
dengan motor berasap tebal, ugal-ugalan dan membahayakan orang lain.
Mereka
adalah anak-anak yang nyaris tidak pernah berpakaian rapi, dan selalu
mendapatkan muka masam dari guru-gurunya setiap pagi. Mereka adalah
remaja penuh dengan gejolak yang banyak galau, lebai, ciyus, atau
apapun itu.
Tapi,
mereka tetap manusia. Manusia, ya manusia. Punya perasaan. Impian.
Rasa ingin tahu. Rasa ingin berkarya. Memberi. Mendapatkan
eksistensi. Menjadi manusia seutuhnya.
***
Pertanyakanlah
lagi, seandainya seluruh energi mereka dikerahkan untuk berkarya;
hebat bukan?
No comments:
Post a Comment
berikan komentarmu tentang tulisan saya, di sini.